makalah Kasus Penggusuran Tanah Petani Desa Singkoyo, Deprov Didesak Bentuk Pansus

BAB I
PENDAHULUAN

A. PENGERTIAN

PETANI adalah seseorang yang bergerak di bidang bisnis pertanian utamanya dengan cara melakukan pengelolahan tanah dengan tujuan untuk menumbuhkan dan memelihara tanaman (seperti padi, bunga, buah dan lain-lain), dengan harapan untuk memperoleh hasil dari tanaman tersebut untuk di gunakan sendiri ataupun menjualnya kepada orang lain.

PENGGUSURAN adalah pengusiran paksa,baik secara langsung maupun secara tak langsung yang dilakukan pemerintah setempat terhadap penduduk yang menggunaan sumber-daya lahan untuk keperluan hunian maupun usaha.
Penggusuran terjadi di wilayah urban karena keterbatasan dan mahalnya lahan. Di wilayah rural penggusuran biasanya terjadi atas nama pembangunan proyek prasarana besar seperti misalnya bendungan.
Di kota besar, penggurusan kampung miskin menyebabkan rusaknya jaringan sosial pertetanggaan dan keluarga, merusak kestabilan kehidupan keseharian seperti bekerja dan bersekolah serta melenyapkan aset hunian.
Penggusuran adalah pelanggaran hak tinggal dan hak memiliki penghidupan. Dialog dan negosiasi dengan pihak atau masyarakat terkait dilakukan untuk menghindari penggusuran.Akan tetapi, penggusuran adalah hal yang mutlak untuk menanggulangi penduduk liar. Hal ini karenakan mereka sama sekali tidak membayar tanah. Dan lagi, mereka harus dipulangkan ke daerah asalnya, seperti transmigrasi

B. LATAR BELAKANG

Sebagai negara agraris, bagian terbesar dari penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Hal ini berarti sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.

Namun dalam kenyataannya paradigma pembangunan yang dianut oleh Rezim Orde Baru adalah lebih ditekankan pada pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran, sehingga kegiatan ekonomi yang menjadi prioritas adalah kegiatan industrialisasi menengah dan besar yang cenderung mampu mendatangkan devisa (baca dollar). Walaupun industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumpu pada sektor pertanian, dimana sebagian besar rakyat berada pada sektor ini. Hasil akhirnya sudah kita ketahui secara bersama bahwa kemudian akses dan aset secara nasional hanya dimiliki oleh segelintir orang, yaitu para penguasa dan pengusaha.

Atas dasar inilah yang menjadikan inspirasi bagi penulis untuk mengangkat kasus yang berjudul “ Penggusuran Tanah Petani Desa Singkoyo, Deprov Didesak Bentuk Pansus’. Pada dasarnya penentuan kasus tersebut sangatlah berkaitan erat dengan masalah sosial yang ada di Indonesia sebab konsekuensi dari paradigma pembangunan yang dianut adalah kebutuhan akan lahan atau tanah yang cukup besar sebagai tempat untuk melakukan investasi modal guna mengembangkan kegiatan usaha yang dilakukan oleh para petani,hal ini sangatlah berkaitan dengan banyak pihak yang terlibat didalamnya. Berkaitan dengan itu maka negara (penguasa) dalam hal ini memberikan jaminan untuk memfasilitasi kebutuhan akan lahan tersebut, yang pada akhirnya memunculkan konflik pertanahan antara rakyat berhadap-hadapan dengan negara yang ditopang oleh perangkatnya dalam hal ini birokrasi dan tentara.

C. TUJUAN

Secara umum makalah ini bertujuan untuk mempelajari secara mendalam tentang permasalahan yang di alami oleh masyarakat Indonesia khususnya yang berkerja atau bergerak dalam bidang pertanian yang merupakan bidang mata pencaharian bagi masyarakat Indonesia, Menjadikan sarana pembelajaran ke depan agar hal-hal tersebut tidak terjadi lagi di kemudian hari, Lebih memahami dan mengetahui aturan-aturan hukum di Indonesia,Memberikan pengetahuan akan Pentingnya Sertifikat Hak atas Kepemilikan Tanah,dan bisa menemukan solusi dari permasalahan yang ada.

BAB II
PERMASALAHAN

Masalah yang di timbulkan bertepatan di PALU, MERCUSUAR – Sejumlah masyarakat petani agro estate, di Desa Singkoyo, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai mendesak DPRD Sulteng (Deprov) dalam menyelesaikan masalah petani dan PT KLS, sebagai penanggungjawab transmigrasi Swakarsa Mandiri (SKM) di desa itu. Tindakan PT KLS yang menggusur lahan pertanian warga, dan menggantinya dengan tanaman kelapa sawit, dinilai merupakan sikap penyengsaraan rakyat. Pasalanya, petani agro estate dirugikan dan kehilangan sumber pendapatan.

Janji-janji PT KLS kepada transmigran local untuk memperoleh penghidupan layak dan peningkatan kesejahteraan sama sekali tidak pernah terealisasikan. Bahkan para transmigran yang membeli lahan pertanian itu, semakin dililit hutang, karena PT KLS secara sepihak menaikkan harga pokok lahan tersebut.

Menyikapi hal tersebut, wakil ketua DPRD Sulteng helmy D Yambas mengatakan, pihaknya akan memerintahkan tiga atau empat orang anggota dewan dapil Banggai dan Bangkep untuk turun langsung diareal penggusuran. Setelah itu, anggota dewan tadi juga diarahkan untuk menanyakan hal tersebut pada PT KLS, sehingga duduk persoalannya menjadi jelas. Persoalan pembentukan Pansus, lanjut Helmy hal itu masih akan dibicarakan pada rapat paripurna. Bila dikehendaki, maka pansus akan dibentuk.

PALU – Aksi demonstrasi Massa Solidaritas Rakyat Untuk Petani Agro Estate (Sorupa) terus berlanjut. Massa yang sebagian besar adalah petani Agro Estate Desa Toili itu, memilih bertahan digedung DPRD Provinsi Sulteng, karena mereka menginginkan berdialog langsung dengan para petinggi dewan.

Palu, Garda Sulteng - Penggusuran lahan dan kebun petani di Kecamatan Toili Kabupaten Banggai tepatnya dilokasi Agro Estate Desa Singkono, terkesan membias. Harapan petani yang menjadi korban penggusuran oleh PT. Kurnia Luwuk Sejati (KLS) agar Legislatif Provinsi memberikan jaminan kongkrit terkait keluhan warga tersebut belum bisa disahuti karena Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri mengaku masih akan mempelajari masalahnya.

Salah satu tuntutan petani agar DPRD Sulteng membentuk pansus guna membahas masalah yang terjadi, belum bisa diiyakan wakil ketua I DPRD Sulteng Helmy D Yambas. Helmy yang menerima langsung puluhan petani yang menjadi korban penggusuran mengaku masih akan mempelajari masalah yang ada, dengan menegaskan perwakilan anggota dewan dari dapil Luwuk Banggai untuk turun langsung ke lapangan (tempat lokasi penggusuran, red), baru kemudian membawa hasil kunjungan itu kesidang paripurna sebagai pertimbangan membentuk Pansus.

Untuk masalah hukum terkait gugatan perdata yang di alamatkan kepada petani, Helmy mengaku bukan kewenangan DPRD, sehingga menyerahkan langsung masalah hukum kepada pihak berwenang untuk memfasilitasi dimana dalam hal ini dipercayakan kepada Komisi Daerah hak Asasi Manusia (Komda HAM).

Upaya petani yang menjadi korban menuntut haknya terkait penggusuran yang dilakukan sepihak oleh PT. KLS itu sudah berulang kali dilakukan. Sebelumnya, aduhan pernah dilayangkan pihak DPRD kabupaten Banggai dan pemerintahan telah dilakukan, namun tindak lanjut baik action untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat itu tidak pernah dilakukan. Malahan, penggusuran yang dilakukan oleh PT. KLS tersebut terkesan mendapatkan dukungan dari pihak DPRD dan eksekutif Banggai. Respon pemerintah Banggai atas penggusuran semakin terlihat, saat pihak kepolisian ikut mengawal jalannya aktifitas penggusuran.

Bukan penggusuran saja yang dilakukan PT. KLS, petani yang menunjukkan keberatannya sering mendapat terror. penggusuran yang dilakukan perusahaan yang dipimpin oleh Dr. Murad Husein, itu sangatlah tidak beralasan. karena selain petani telah memiliki sertifikat atas tanahnya, pada tanggal 3 Januari 1999 lalu, surat pernyataan pelepasan hak atas tanah seluas 275 hektar, dimana dalam jaminannya mengatakan tanah tersebut tidak dijadikan jaminan hutang dengan cara apapun.

Jadi tidak beralasan penggusuran dilakukan. Karena sebelumnya PT. KLS telah mengeluarkan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah seluar 275 hektar dilokasi yang sama. Saat ini, semua petani yang menolak penggusuran sedang berada dipalu, guna mengadukan sekaligus meminta proses bantuan hukum kepada LBH Sulteng. Mereka berharap, kedatangan mereka ke palu bisa membuahkan hasil, minimal ganti rugi terhadap lahan perkebunan yang telah digusur itu. Bahkan keseriusan para petani ini untuk mendapatkan kembali haknya cukup terlihat dengan menginap di kantor DPRD Sulteng, meski menurut mereka pelayanan yang diberikan oleh staff DPRD sangat tidak realistis sebagai sesama masyarakat.

Lahan sekitar 40 hektar milik 20 KK (kepala keluarga) warga Singkoyo, lanjut Irfaizal, diduga masih bermasalah dengan pihak PT KLS. Selain itu penggusuran yang dilakukan sejak 19 September sampai 31 Oktober 2008 silam, karena dianggap tanah tersebut bermasalah dan tidak sesuai dengan ketentuan. Dia menambahkan, pada tahun 1999, PT KLS telah menyerahkan Hak Guna Usaha (HGU) lahan perkebunan kakao kepada warga Trans Agro Estate sesuai dengan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah tertanggal 3 Januari 1999 yang diteken Komisaris Utama PT KLS Silva Mayindo dan Direktur Utama KLS Murah Husain serta Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Banggai.

Kasus penggusuran lahan ini, lanjut Irfaizal, pihaknya telah menerima hasil pertemuan antara DPRD Banggai, Dinas Nakertrans, Badan Pertanahan dan PT KLS tentang lahan pertanian milik petani agro yang bermasalah. Namun pihaknya masih mengkaji kembali. Sementara itu Kapolres banggai dan Kapolsek Toili yang diduga melindungi PT KLS, tambah Irfaizal, setelah dimintai keterangan membantah mengawal dan melindungi alat berat yang digunakan untuk penggusuran tersebut.

PALU – Solidaritas Rakyat untuk Petani Agro (Sopura) Toili, Kabupaten banggai, Sulawesi Tengah, Rabu (18/2) menduduki kantor DPRD. Pendudukan kantor DPRD Sulteng itu karena belum mendapat kepastian dari pihak DPRD terkait kasus penggusuran lahan mereka yang dilakukan PT Kurnia Luwuk Sejati (KLS). Koordinator Aksi, Andika Setiawan mengatakan, pihaknya tidak akan meninggalkan kantor DPRD Sulteng sebelum mendapat jawaban dari DPRD.

BAB III
PEMBAHASAN

Dalam banyak kasus penggusuran di Indonesia rakyat atau petani selalu ditempatkan pada posisi tertindas dan dikalahkan. Akibatnya setiap langkah perlawanan petani sebagian besar dapat dipatahkan. Manipulasi, intimidasi, represi, pembantaian, penindasan dan demoralisasi dari militer dan aparat negara lainnya, didukung oleh tokoh-tokoh atau elit-elit lokal dan preman. Kekalahan dalam konteks itu menjadi sesuatu yang nyata, dan itu berarti semakin memojokan posisi petani.

Meskipun begitu bukan berarti menyurutkan aksi-aksi perlawanan petani. Penolakan secara langsung dan terbuka selalu dilakukan petani. Sikap resistensi atau perlawanan terhadap negara/militer/pemodal besar secara simultan selalu muncul, menolak akan penggusuran. Sebagaimana yang akan dibahas dalam kasus ini.

Masalah yang terjadi di PALU, MERCUSUAR yang menyebabkan sejumlah masyarakat petani agro estate, di Desa Singkoyo, Kecamatan Toili, Kabupaten Banggai mendesak DPRD Sulteng (Deprov) dalam menyelesaikan masalah petani dan PT KLS, sebagai penanggungjawab transmigrasi Swakarsa Mandiri (SKM) di desa itu. Tindakan PT KLS yang menggusur lahan pertanian warga, dan menggantinya dengan tanaman kelapa sawit, dinilai merupakan sikap penyengsaraan rakyat. Pasalanya, petani agro estate dirugikan dan kehilangan sumber pendapatan. Janji-janji PT KLS kepada transmigran local untuk memperoleh penghidupan layak dan peningkatan kesejahteraan sama sekali tidak pernah terealisasikan. Bahkan para transmigran yang membeli lahan pertanian itu, semakin dililit hutang, karena PT KLS secara sepihak menaikkan harga pokok lahan tersebut.

Upaya petani yang menjadi korban menuntut haknya terkait penggusuran yang dilakukan sepihak oleh PT. KLS itu sudah berulang kali dilakukan. Sebelumnya, aduhan pernah dilayangkan pihak DPRD kabupaten Banggai dan pemerintahan telah dilakukan, namun tindak lanjut baik action untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat itu tidak pernah dilakukan. Malahan, penggusuran yang dilakukan oleh PT. KLS tersebut terkesan mendapatkan dukungan dari pihak DPRD dan eksekutif Banggai. Respon pemerintah Banggai atas penggusuran semakin terlihat, saat pihak kepolisian ikut mengawal jalannya aktifitas penggusuran.

Bukan penggusuran saja yang dilakukan PT. KLS, petani yang menunjukkan keberatannya sering mendapat terror. penggusuran yang dilakukan perusahaan yang dipimpin oleh Dr. Murad Husein, itu sangatlah tidak beralasan. karena selain petani telah memiliki sertifikat atas tanahnya, pada tanggal 3 Januari 1999 lalu, surat pernyataan pelepasan hak atas tanah seluas 275 hektar, dimana dalam jaminannya mengatakan tanah tersebut tidak dijadikan jaminan hutang dengan cara apapun. Jadi tidak beralasan penggusuran dilakukan. Karena sebelumnya PT. KLS telah mengeluarkan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah seluar 275 hektar dilokasi yang sama.

Saat ini, semua petani yang menolak penggusuran sedang berada di PALU, guna mengadukan sekaligus meminta proses bantuan hukum kepada LBH Sulteng. Mereka berharap, kedatangan mereka ke palu bisa membuahkan hasil, minimal ganti rugi terhadap lahan perkebunan yang telah digusur itu. Bahkan keseriusan para petani ini untuk mendapatkan kembali haknya cukup terlihat dengan menginap di kantor DPRD Sulteng, meski menurut mereka pelayanan yang diberikan oleh staff DPRD sangat tidak realistis sebagai sesama masyarakat.

Adapun pola-pola pendekatan yang biasa dilakukan untuk mempermudah penggusuran tanah petani. Paling tidak terdapat enam macam strategi:

1. Pendekatan legal formal (formal administratif): Tanah-tanah yang dikuasai petani umumnya tidak memiliki kelengkapan surat menyurat sebagai bukti kepemilikan, sehingga tanah-tanah tersebut gampang dianggap sebagai tanah negara.
2. Pendekatan kepada tokoh masyarakat: Upaya penggusuran tanah-tanah petani dilakukan dengan cara pendekatan secara “khusus” kepada tokoh-tokoh masyarakat, seperti ketua adat, tokoh agama, tokoh-tokoh formal desa, dan sebagainya, tanpa sepengetahuan rakyat setempat. Biasanya, apabila tokoh-tokoh tersebut sudah ditaklukan, proses penggusuran terhadap rakyat akan sangat mudah. Dalam studi kasus ini tercatat bahwa pendekatan pada tokoh-tokoh ini agaknya berjalan efektif.
3. Pendekatan politik pecah-belah: Politik pecah-belah bukan hanya monopoli penguasa kolonialis yang sangat terkenal dengan politik devide et impera-nya, tetapi juga dipergunakan oleh penguasa Orde Baru untuk menggusur tanah-tanah milik petani. Masyarakat atau petani pemilik tanah diadu-domba dengan sesamanya, misalnya dengan mengadakan pendekatan-pendekatan tertentu kepada kelompok-kelompok masyarakat yang berbeda kepentingan.
4. Pendekatan manipulasi, pemalsuan dan diskriminasi: Proses manipulatif yang sering dipergunakan untuk menggusur tanah-tanah rakyat atau petani, misalnya dengan menerbitkan akta/sertifikat atas nama atau suku tertentu yang menyetujui adanya penggusuran.
5. Pendekatan isolasi wilayah dan akses: Secara geografis biasanya tanah-tanah petani yang akan digusur diisolasi, misalnya, dengan cara menutup jalan menuju lokasi. Sehingga secara geografis wilayah tersebut sulit ditembus, yang mengakibatkan akses masyarakat atau petani ke dunia luar terputus.
6. Pendekatan dengan menggunakan cap buruk atau stigma-stigma: Cara ini dialamatkan kepada masyarakat yang tanahnya akan digusur. Misalnya, masyarakat yang menolak penggusuran dianggap pengikut aliran sesat, pengacau keamanan, anti pembangunan. Orang yang anti pembangunan dianggap anti Pancasila, dan itu berarti orang tersebut dianggap PKI. Cap buruk lainnya misalnya, penyerobot tanah negara, penghuni liar, dan sebagainya. Rakyat atau petani yang diberi stigma-stigma seperti itu akan merasa ketakutan, dan dengan begitu penggusuran akan lebih mudah dilakukan.

Faktor penting yang harus diperhatikan dalam kasus ini ialah bukti adanya surat kepemilikan tanah atau yang biasa disebut dengan sertifikat hak atas tanah. Sertifikat tanah memiliki banyak fungsi bagi pemiliknya. Dari sekian fungsi yang ada, dapat dikatakan bahwa fungsi utama dan terutama dari sertifikat adalah sebagai alat bukti yang kuat, demikian dinyatakan dalam pasal 19 ayat 2 huruf c UUPA. Karena itu, siapapun dapat dengan mudah membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas tanah bila telah jelas namanya tercantum dalam sertifikat itu. Sertifikat ini pun selanjutnya mampu membuktikan keadaan-keadaan dari tanahnya itu misalnya luasnya, batas-batasnya, ataupun segala sesuatu yang berhubungan dengan bidang tanah dimaksud.
Dan jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar, sepanjang tidak ada bukti lain yang mengingkarinya atau membuktikan sebaliknya. Tetapi jika ternyata ada kesalahan didalamnya, maka diadakanlah perubahan / pembetulan seperlunya. Dalam hal ini yang berhak melakukan pembetulan bukanlah pengadilan melainkan instansi yang menerbitkannya yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan jalan pihak yang dirugikan mengajukan permohonan perubahan sertifikat dengan melampirkan surat keputusan pengadilan yang menyatakan tentang adanya kesalahan dimaksud.

Apa yang dimaksud dengan sertifikat itu sendiri ? Untuk mengetahui hal ini, dapat diketengahkan bunyi Pasal 13 ayat 3 PP No.10 tahun 1961 yang menyebutkan bahwa ”Salinan buku tanah dan surat ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu kertas sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertifikat dan diberikan kepada yang berhak”.

Dari ketentuan pasal itu kiranya jelaslah bagi kita apa yang dimaksud dengan sertifikat hak atas tanah itu, yaitu sebagai salinan daripada buku tanah dan surat ukur tanah yang diikat menjadi satu. Asli sertifikat itu sendiri adanya di kantor BPN dan kepada tiap-tiap pemegang hak hanya diberikan salinannya saja.

BAB IV
PENUTUP

KESIMPULAN
Dari permasalahan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sebagai negara yang sebagian besar penduduk Indonesia bermata pencaharian pokok sebagai petani. Sumber ekonomi dan sosial penduduk sangat tergantung pada tata produksi dan hasil-hasil pertanian. Dengan demikian, persoalan pertanian sesungguhnya merupakan masalah pokok bagi masyarakat Indonesia. Masalah pertanian merupakan indikator penting untuk mengukur tingkat kesejahteraan kehidupan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Hasil pembahasan atas permasalahan ini memperlihatkan bahwa”tanah” dan “petani” menjadi sentral penting. Sehingga gabungan kata “Tanah Petani” tidak dapat dilepas dari tanah sebagai “subyek” kedua bagi dirinya, disamping “petani” sebagai subyek pertama. Tanah sebagai “alat produksi” tentunya akan mempengaruhi cara-cara pemaknaan subyek petani terhadap tanah (alat produksi). Makna tanah bagi petani akan tergambar dalam nilai-nilai yang mereka anut atau percayai (nilai budaya, sosial, politik).
Dengan demikian menunjukan cara petani memberi makna pada tanah bersifat “ideologi”. Petani mempertahankan tanah bukan semata akibat nilai komoditasnya, tetapi merupakan rangkuman nilai-nilai ideologis yang membentuknya, jalan hidup sebagai petani sesuatu yang mulia, petani tanpa tanah serasa bukan menjadi manusia lagi, tanah sebagai warisan leluhur (bernilai sakral), dan tanah secara utuh gambaran eksistensi diri si petani sendiri.

Tanah sendiri pun memiliki berbagai ketentuan yang harus di ikuti salah satu ketentuan yang penting untuk dilaksanakan adalah pensertifikatan hak atas kepemilikan tanah sehingga dapat menjadi bukti jika dikemudian hari terjadi tuntutan hukum di pengadilan tentang hak kepemilikan / penguasaan atas tanah, maka semua keterangan yang dimuat dalam sertifikat hak atas tanah itu mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan karenanya hakim harus menerima sebagai keterangan-keterangan yang benar.